Rabu, 22 Januari 2014

bersikap bijak pada jodoh, hati dan perasaan



Mungkin fenomena mencari jodoh, ta’aruf, pacaran dan semacamnya menjadi topic yang menarik untuk beberapa kalangan mahasiswa yang sudah menginjak masa akhir studi. Dari berbagai pengalaman yang dijumpai hampir disetiap diskusi, baik itu pekerjaan, sukses ataupun diskusi sepakbola pasti berujung pada topik satu ini. Konsep dan hipotesis yang ditawarkanpun sangat bervariatif. Dari mulai konsep sederhana tentang perasaan dan fitrah manusia, hingga konsep multisektoral seperti suku, DNA dan faktor-faktor lain yang tidak masuk akal.

Tapi sebenarnya yang menjadi keyakinan saya adalah konsep jodoh yang memang telah ditetapkan oleh Allah. Bahkan janjinya adalah “Wanita terbaik akan berjodoh dengan pria terbaik pula”. Maka saya percaya betul dengan janji ini, sebagaimana janji-janji Allah yang lain.


Maka rasanya kurang bijak bila kita meminta hingga sambil merengek-rengek untuk dapat berjodoh dengan seseorang. Bagaimana anda melihat bila ada seorang anak kecil meminta mainan robot yang hanya dapat berjalan satu arah kepada sang ayahnya, padahal sang ayah telah berniat membelikan robot mainan yang lebih canggih. Bila sang ayah menilai memang itu kemauan anak yang bukan merupakan pilihan yang terbaik, maka bisa jadi sang ayah membelikannya. Itulah poin pentingnya.

Bukan permasalahan orang tersebut baik, pandai hingga dapat memberikan kenyamanan bila bersamanya. Tapi lebih dari pada itu, Allah pasti akan memberikan yang terbaik. Dan ingat, ilmu kita hanya setitik air dari seluasnya samudera.

Di lain sisi, untuk memulai suatu perjodohan (bahasa yang masih dapat diperbaiki) tidak hanya untuk permasalahan diri kita sendiri. Karena disana menyangkut pula beberapa orang dari dua pihak yang berbeda. Dalam pepatah jawa kasar disebut “loro endas papat watake” atau “dua kepada empat sifat”. Sehingga untuk hal yang satu ini bukan hanya masalah perasaan yang tak kunjung menentu, tapi juga permasalah keluarga, masyarakat dan tentunya masalah hati. Maka cara persiapannya pun harus perlahan-lahan. Semisal, dengan mendekatkan orang tua sendiri untuk meminta restunya. Silahkan baca buku Ustadz Felix Siaw yang judulnya “Udah Putusin Aja”.

Jadi kesimpulannya adalah bila anda sedang dimabuk cinta atau sedang menantikan jodoh maka tetaplah untuk berkeyakinan pada janji Allah itu sembari membaca janji-janji Allah lainnya. Kemudian bila anda sudah merasa “gagal move on” maka silahkan berkonsultasilah pada pihak yang berwajib (orangtua/wali murid/dosen pembimbing) sembari merenungkan diri. Tanyakan kepada lubuk hati yang paling dalam (sebab saya yakin bahwa hati manusia itu pada dasarnya adalah suci, dan beberapa berpendapat bahwa bahasa yang disampaikan tuhan hanya akan tersampaikan secara langsung kepada hati yang dipilihnya), bahwa perasaan atau sikap yang anda pilih bukan hanya sebatas pemuas nafsu/penyalur fitrah yang salah semata. Ingat perasaan suka pada lawan jenis itu adalah fitrah manusia yang diberikan Allah, jangan sampai hal tersebut dimasuki bisikan setan.

4 komentar:

  1. harus pintar-pintar menyiasati cinta yang datang belum pada saatnya. istiqomah memperbaiki diri dulu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. cinta yang datang 'lebih cepat' sebenarnya sah-sah saja. karena memang itu adalah fitrah manusia sendiri. yang jelas bagaimana mengolah fitrah tersebut menjadi sesuatu yang bijak untuk diri kita sendiri gitu.

      Hapus
  2. wah, boleh juga itu gan...
    serahkan ke pihak berwajib (dosen pembimbing) buat kasih judul skripsi.. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. silahkan,. siapa tau judul skripsi itu juga membantu untuk 'move on' :)

      Hapus