Ini sebenarnya adalah tulisan lama yang baru sempat saya aplod sebab lagi hangat-hangatnya karena kenaikan harga gas elpiji biru.
DILEMA, itu mungkin kata yang pantas disematkan oleh satu-satunya perusahaan plat merah Indonesia yang bergerak dalam bidang Minyak dan Gas. Beberapa tahun lalu ketika isu kenaikan harga BBM jenis premium, perusahaan ini seperti kalang kabut melewati hari-hari kerja operasionalnya. Termasuk teror yang timbul akibat reaksi yang rencana tersebut. Lebih dari itu, harga kenaikan itu sendiri muncul karena jumlah konsumsi BBM masyarakat cukup tinggi, namun tidak dibarengi oleh tingkat produksi yang mampu dihasilkan Pertamina.
Jika kita berbicara tentang produksi secara awam (karena saya bukan ahli dibidang produksi ataupun perekonomian), untuk dapat memberikan pelayanan yang baik maka kemampuan produksi harus minimal sebanding dengan tingkat konsumsi/permintaan. Itu adalah kondisi ideal, tapi jika kondisi ini berbeda dilapangan seperti kemampuan produksinya lebih rendah maka otomatis permitaan harus dipenuhi dengan beberapa cara tertentu, salahsatunya adalah pembelian produk luar. Pembelian ini bisa ditempatkan pada sisi produsen (pembelian barang mentah) atau pada sisi konsumen (pembelian barang jadi). Sedangkan di Indonesia pembelian barang mentah menjadi pilihan yang paling banyak, sebab konsumen cenderung sulit untuk mengeluarkan biaya untuk pembelian barang jadi.
http://finance.detik.com/read/2013/11/15/160226/2414356/1034/impor-minyak-ri-tinggi-ini-penjelasan-pertamina
Di Indonesia, Pertamina harus memenuhi permintaan konsumen sebanyak 1,4 Juta barrel perhari sedangkan kapasitas produksi pertamina hanya 1 juta barrel perhari. Otomatis, pertamina harus menangani kekurangan 4 juta barrel. Untuk mengatasi hal tersebut Pertamina memilih impor untuk kemudian diolah sendiri untuk dipasarkan. Sialnya, harga minyak dunia semakin tinggi otomatis makin banyak pula ongkos yang harus dibeli Pertamina, kondisi ini akan berdampak negatif hingga fase kritis hampir menyentuh kondisi "RUGI".
Di sisi lain, Pertamina sebagai BUMN harus menyediakan kebutuhan BBM masyarakat. Tapi tidak dibarengi oleh ketersediaan resource yang kian lama kian menipis. Membuat ongkos produksi mahal, apabila kondisi mahalnya ongkos maka beban upah pekerja harus diperhemat, otomatis berdampak pada ketersediaan sumber daya manusia. Dengan kondisi ini, dari sisi lapangan kerja akan menurukan tingkat antusias pekerja itu sendiri. Bukan hal yang aneh, banyak pekerja-pekerja yang memiliki kemampuan tinggi memilih bergabung diperusahaan minyak luar dengan alasan gaji yang diterima lebih besar. Dilain pihak, banyak juga pekerja-pekerja yang menuntut kesejahteraan lebih karena terbuai bayang-bayang kejayaan Pertamina dulu.
http://www.indramayupost.com/2010/06/ratusan-buruh-pertamina-ep-mundu-demo.htmlBerita diatas terjadi di kompleks perumahan dan perkantoran tempat saya tinggal selama 12 tahun dulu. Bapak saya adalah salahsatu karyawan disana, beliau hampir pulang kerja tengah malam karena kondisi tempat tersebut yang masih tidak kondusif. Bahkan, beberapa kawan bapak sampai menyamar sebagai tukang becak untuk bisa keluar dari kompleks tersebut.